Jumat, 22 April 2011

Efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada Ibu Post Partum di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar panggul melemah atau rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik ( David L. L., 2009). Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang berasal dari tenaga meneran ibu (Santosa, 2009). Banyak wanita mengalami kebocoran urine yang tidak dapat dikendalikan akibat cedera saat melahirkan (Bobak, 2004:1024).
Kondisi-kondisi pada ibu post partum yang mengganggu pengontrolan urine meliputi inkontinensia urine stres, inkontinensia urine desakan, trigonitis, sistisis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan abnormalitas traktus urinarius kongenital (Bobak, 2004). Komplikasi lain yang bisa timbul akibat proses persalinan adalah retensi urine (Rahman, dkk., 2009).
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum ( Aulia Rahman, dkk., 2009).
Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan. Namun kemudian karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi pengeluaran cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia (Lusa, 2010).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata (Vitriana, 2002). International Consultation on Incontinence ( 2004 ) membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress , inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan Incontinencia continua. (Santosa, 2009).
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas,  saat bersin dan pada waktu batuk (ICS, (2002) dalam Eileen, (2007)). Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk). Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra (Bobak, 2004:1024). Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut juga dengan inkontinensia urine campuran (Rortveid (2003), Viktrub (1993), Wilson (1996)).
Menurut Brooker (2009), Inkontinensia urine stres biasanya disebabkan saluran kandung kemih inkompeten akibat kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter. Bobak (2004) menyatakan, inkontinensia urine stres dapat terjadi setelah cedera pada struktur leher kandung kemih. Menurut Eileen (2007), otot dasar panggul berperan penting dalam mempertahankan tekanan uretra ketika terjadi peningkatan yang tiba-tiba pada tekanan intra abdomen selama kondisi stress. Pada keadaan normal, tekanan dalam uretra lebih tinggi daripada tekanan intra abdomen yang berfungsi mempertahankan keutuhan. Namun, bila tidak didukung oleh otot dasar panggul, tekanan uretra tidak dapat ditahan sehingga terjadilah inkontinensia urine.
Pada tahun 1998 Asia Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia adalah sekitar 14,6%. Prevalensi ini bervariasi di setiap negara karena banyak faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan, populasi sample penelitian, dan metodologi penelitian (Vitriana, 2002).
Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya pelaporan karena di Asia inkontinensia masih dianggap sebagai suatu yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan (Vitriana, 2002).
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak. (Adrianto P., 1991 : 175).
Secara medis adanya inkontinensia urin akan mempredisposisi timbulnya ruam perineal, ulkus dekubitus, infeksi traktus urinarius, urosepsis, jatuh dan fraktur. Secara psikososial akan menyebabkan pasien merasa malu, terisolasi, depresi dan merasa mengalami regresi (Herzog et al., 1989; Wyman et al., 1990). Dilihat dari segi ekonomi, biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di Amerika lebih dari 10 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia ini pada tahun 1987 (Hu (1990) dalam Vitriana (2002))
Terapi inkontinensia urin secara dini dan  rutin, efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan emosional orang yang menderitanya ( Lapitan CM, 2001 : 1-4 ). Dr. Kegel mengenalkan latihan dasar panggul atau Kegel Exercise untuk mengontrol inkontinensia urine stress yang bermanfaat selama masa pasca partum. Menurut Hay-Smith (2006), kegel exercise merupakan saran utama dalam mengatasi inkontinensia urine stres dan inkontinensia urine campuran namun latihan ini meningkat fungsinya sebagai latihan yang juga mampu mengatasi inkontinensia urine desakan.
Menurut Purnomo (2003), Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling populer untuk mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan memperbaiki tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Kegel Exercise harus dilakukan setelah melahirkan untuk membantu otot otot dasar panggul kembali ke fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini membantu mencegah prolaps uterus dan stres inkontinensia di kemudian hari. (Bobak, 1995).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan melatih otot dasar panggul untuk mencegah inkontinensia urine dilaporkan sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu post partum dengan inkontinensia urine menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima latihan otot dasar panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perawatan latihan (menurun sekitar 20%) untuk melaporkan inkontinensia setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin sering dalam menjalankan program maka efeknya semakin besar ( Smith J, dkk., 2009). Berdasarkan penelitian terhadap lansia di panti Wreda Sindang Asih Semarang tahun 2009  Kegel Exercise yang dilakukan sebanyak 10 kali dalam 3 minggu menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi inkontinensia urin sebesar 18,3 % dari 9,86 kali menjadi 6,19 kali.
Dengan melihat adanya keterkaitan antara kegel exercise dengan penurunan kejadian inkontinensia urine, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas Kegel exercise terhadap penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu post partum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan pada penelitian ini adalah : Bagaimana efektifitas Kegel Exercise terhadap Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine Stres pada Ibu Post Partum di kecamatan Seberang Ulu I

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efektivitas Kegel Exercise terhadap penurunan kejadian Inkontinensia Urin di kecamatan Seberang Ulu I

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a.     Mengetahui karakteristik responden (umur, pendidikan, partus dan paritas)
b.    Mengidentifikasi kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum sebelum  intervensi dengan Kegel Exercise
c.     Mengidentifikasi kejadian inkontinensia pada ibu postpartum setelah intervensi dengan Kegel Exercise
d.    Membandingkan perbedaan penurunan kejadian inkontinensia urine antara ibu postpartum yang diberikan intervensi Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi

D. Manfaat Penelitian
1.     Manfaat Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Memberikan masukan untuk menggunakan Kegel Exercise dalam menurunkan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.
2.     Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya keperawatan dalam menghadapi ibu postpartum dengan inkontinensia urine. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data awal dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan penurunan kejadian inkontinensia urine pada ibu postpartum.
3.     Manfaat bagi Masyarakat (Ibu)
Dapat memperkenalkan suatu metode latihan postpartum (Kegel Exercise) sehingga lebih dapat memberdayakan ibu dalam mengatasi kejadian inkontinensia urine setelah melahirkan.

F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pada area keperawatan maternitas.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria Bagian Bawah
Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli (kandung kemih) dan uretra yang keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urine. Kandung kemih merupakan organ berongga yang terdiri atas mukosa, otot polos detrusor, dan serosa. Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra, berupa sfingter uretra interna yang terdiri atas otot polos. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling) atau penyimpanan, dan terbuka pada saat isis kandung kemih penuh dan saat miksi atau pengeluaran (evecuating). Di sebelah distal dari uretra posterior terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris dari otot dasar panggul. Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai dengan perintah dari korteks serebri.
Pada saat pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase pengeluaran urine terjadi kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urine, kandung kemih mampu untuk melakukan akomodasi yang meningkatkan volumenya dengan mempertahankan tekanannya dibawah 15 cm H2O sampai volumenya cukup besar. Sifat kandung kemih seperti ini disebut  sebagai komplians kandung kemih (bladder compliance).
Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih sehingga viskoelastisitas kandung kemih terganggu, komplians kandung kemih menurun , yang berarti bahwa pengisian urine pada volume tertentu akan menyebabkan kenaikan tekanan intravesika yang cukup besar (Purnomo, 2003)

B. Neurofisiologi Kandung Kemih dan Uretra
Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan somatik. Serabut aferen dari dinding kandung kemih menerima impuls strech reseptor (reseptor regangan) dari kandung kemih yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S2-4 dan diteruskan sampai ke otak melalui traktus spinotalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi kepada otak tentang volume urine di dalam kandung kemih. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenai sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran urine di dalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus menuju korda spinalis S2-4.
Serabut eferen parasimpatik  berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)adalah neurotransmitter yang berperan dalam penghantaran signal saraf kolinergik, yang steelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan di dalam kontraksi kandung kemih adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa kontraksi detrusor, dan terbukanya sfingter uretra.
Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorako-lumbal (T10 – L2) yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra. Teradapat 2 jenis reseptor adrenergik yang letaknya berada di dalam kandung kemih dan uretra, yaitu reseptor adrenergik  yang banyak terdapat pada leher kandung kemih (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor adrenergik  yang banyak terdapat pada fundus kandung kemih. Rangsangan pada reseptor adrenergik  menyebabkan kontraksi, sedangkan pada  menyebabkan relaksasi. Sistem simpatis ini berperan pada fase pengisian yaitu menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik  dan (2) kontraksi sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik  yang betujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agar selama fase pengisian urine tidak bocor (keluar) dari kandung kemih.
            Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf yang berada di kornu anterior korda spinalis S2-4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-otot dasar panggul. Perintah dari korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya sfingter eksterna pada saat miksi.
            Pada saar kandung kemih terisi oleh urine dari kedua ureter, volume kandung kemih bertambah besar karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch reseptor yang berada di dinding kandung kemih yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang jumlah urine yang mengisi kandung kemih. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai dirasakan oleh otak adanya urine yang mengisi kandung kemih.
            Pada saat kandung kemih sedang terisi, tejadi stimulasi pada sistem simpatik yang mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher kandung kemih), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor. Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh dna timbul keinginan untuk miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher kandung kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intrauterina.
            Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fasae pengisian atau pada fase miksi. Kegagalan kandung kemih dalam memnyimpan urine menyebabkan urine tidak sempat tersimpan di dalam kandung kemih dan keluar melalui kandung kemih, yaitu pada inkontinensia urine sedangkan kelainan pada fase miksi menyebabkan urine tertahan di dalam kandung kemih sapai terjadi retensi urine (Purnomo, 2003).

C. Anatomi dan Fisiologi Dasar Panggul
            Dasar panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas otot perineum, fascia dan levator ani profunda, serta otot koksigeus (Eileen, 2009). Dasar panggul adalah diafragma muskuler yang memisahkan cavum pelvis di sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk oleh m. Levator ani, serat m. Coccigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fascia parietalis (Patrick H, (2002); Loetan F, (2006); Gosling J, (1999); dan Callahan, (2004)).
Otot-otot dasar panggul memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih. Otot-otot ini tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intraabdominal atau intrauretra. Fascia, seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu mempertahankan sokongan kandung kemih. (Vitriana, 2002).
1.   Otot Perineum Superfisial
Otot perineum superfisial terdiri atas serabut tipis kecil otot yang menyebar ke arah luar tulang pelvis pada setiap sisi dari arah sentral tendinus korpus peritoneum. Korpus peritoneum merupakan piramida otot dan jaringan fibrosa, letaknya antara vagina dan rektum. Bulbospongiosus melekat pada korpus peritoneum di sekeliling vagina sampai ke klitoris. Iskiokavernosus melekat pada tuberositas iskium dan klitoris. Otot perineal transversus superfisial melekat pada tuberositas iskium sampai ke korpus peritoneum. Sfingter ani eksternal mengelilingi orifisium anal dan tertanam di bagian depan korpus peritoneum serta melekatkan diri pada bagian belakang tulang koksik (Eileen, 2007)

2. Levator Ani
Lapisan dalam otot ini dapat dikenal pula sebagai satu serabut otot yang terlindungi oleh fascia pelvis; otot ini membentuk suatu penyangga yang kokoh, yang menyangga viscera abdominal. Otot ini terbagi dalam iskiokoksigeus (kadang dikenal sebagai koksigeus), iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan puborektalis, serta dilekatkan ke permukaan pelvis dari spina iskia. Serat otot ini dengan beragam derajat obliknya membentang pada sisi vagina yang bermuara ke korpus peritoneum.
Iskiokoksigeus merupakan otot segitiga yang bentuknya kecil, membentang pada bagian superior dan posterior, namun pada bidang yang sama, dianggap sebagai bagian levator ani, namun kerap pula dianggap sebagai bagian yang terpisah. Otot ini muncul dari spina iskia dan ligamen sakrospina serta membentang ke bagian atas koksik dan bagian bawah sakrum. Iliokoksigeus muncul dari fascia di atas obturator internus dan spina iskia (Eileen, 2007). Illiococcigeus berasal dari arkus tendendeneus levator ani (ATLA), penebalan dari fascia yang meliputi obstruktor internus yang berjalan dari spina ischiadika ke permukaan posterior dari ramus superior ipsilateral, masuk ke garis tengah melalui raphe anococcigeal (Roger R M, 2003).
Serat puborektalis medialis menjulur pada sisi vagina dan uretra, sebelum masuk ke bagian korpus peritoneum, dan serat lateralnya pada masing-masing sisi mengitari rektum dan bersatu dengan sfingter anus eksternal. Serat ini muncul dari bagian spina iskia dan meletakkan dirinya ke tulang koksik dan sakrum bagian bawah (Eileen, 2007). Puborektalis juga berasal dari tulang pubis, tetapi serabutnya melewati bagian posterior dan membentuk tali gantungan di sekeliling vagina, rektum dan perineum, membentuk sudut anorektal dan menutupi urogenital (Roger R M, 2003)
Serat pubokoksigeus muncul dari tulang pubis dan fascia di atas obturator internal dan melekat ke bagian anterior koksik (Eileen, 2007). Otot pubococcigeus berasal dari posterior inferior ramus pubis dan masuk ke garis lengan organ visceral dari anococcigeal raphe (Roger R M, 2003).
Ruangan antara muskulus levator ani dimana dilalui oleh uretra, vagna dan rektum disebut sebagai hiatus urogenital. Fusi dari levator ani dimana mereka bergabung pada garis tengah disebut sebagai lempeng levator. Otot dasar panggul khususnya muskulus levator ani, mempunyai peranan penting dalam menyangga organ visera pelvis dan peran integral pada fungsi berkemih, defekasi dan seksual (Roger R M, 2003).
Otot levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai dengan lokasi anatomisnya : pubococcygeus (otot pubovisceral), iliococcygeus, pubovaginalis serta puborectalis dan puboanalis. Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slow-twitch berfungsi dalam respon postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis (Vitriana, 2002).

3. Fascia Dasar Panggul
Segitiga urogenital atau diafragma urogenital adalah dua lapisan fascia, mengisi ruang segitiga di bawah simfisis pubis dan ramus pubis.Fascia ini terbelah pada bagian tengahnya untuk memberi ruang bagi vagina dan uretra. Fascia ini juga membungkus levator ani. Fascia terdiri dari sedikit serabut otot, disebut kompresor uretra dan peritoneum transversum profunda. Peritoneum transversum profunda melekat pada korpus peritoneum, berfungsi membungkus dan menjadi perlekatan otot dan dapat sangat tergang selama proses persalinan (Eileen, 2007)



4. Persyarafan
Otot-otot diatas dipersarafi oleh pleksus pudendus, yang merupakan sistem persyarafan yang berasal dari nervus sakralis ke-2, ke-3, ke-4 dan kadang-kadang ke-5 (S2-5) (Eileen, 2007). Fasilitasi dan inhibisi syaraf otonom dilakukan dibawah kontrol susunan syaraf pusat. Denny-Brown dan Robertson menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh refleks miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistem syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi refleks miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat dalam Vitriana (2002) menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih berasal dari regio di anterior pons yang disebut dengan “Barrington’s Center”. Carlson memberikan bukti bahwa area mesenceohalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam mengkoordinasikan aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barrington’s center secara signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter lurik periuretral dan menimbulkan kontraksi kandung kemih.
Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada proses berkemih dalam inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan keadaan klinis detrusor hyperflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya penyakit Parkinson). Cerebellum juga diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan mempengaruhi koordinasi antara relaksasi otot lurik periuretral dan pengosongan kandung kemih (Linsenmeyer TA and Stone JM., 1998; Steers WD & Zorn BH., 1997).
5. Fungsi Gabungan Otot Dasar Panggul
a.     Membentuk dasar pintu atas panggul
b.    Menjaga kestabilan panggul bersama dengan transversus abdominis
c.     Menyangga organ pelvis
d.    Kontra-kerja perubahan pada tekanan abdomen yang disebabkan oleh aktivitas seperti batuk dan mengangkat benda
e.     Membantu mempertahankan kontinensia
f.     Memfasilitasi berkemih, defekasi dan persalinan
g.    Menghasilkan suatu terowongan yang dapat membantu rotasi kepala janin selama persalinan
h.     Peran penting dengan berhubungan dengan pasangan
Fungsi diatas hanya efisien jika otot tersebut dalam keadaan kuat. Kelemahan otot ini sebaliknya dapat mengakibatkan inkontinensia urin dan prolaps uterus dan/atau dinding vagina (Eileen, 2007). Menurut Loetan F (2006) dan Roger R M (2003), fungsi utama panggul adalah supportir, sfingterik dan fungsi seksual.

B. Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan merupakan bagian yang normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan usia (Shelly B., 1999; Sapsford RR & Hodges PW., 2001; Berek JS., 1996 dalam Vitriana 2002).
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih dari satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih sulit. Membedakan etiologi ini merupakan hal yang penting karena setiap kondisi memerlukan pendekatan terapi yang berbeda (Choe Jm, dalam Vitriana 2002).
Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan inkontinensia urine. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan pada kandung kemih atau kelainan pada sfingter (uretra). Kelainan pada kandung kemih dapat berupa overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung kemih. Kelainan pada uretra dapat berupa hipermobilitas uretra dan defisiensi sfingter intrinsik. Kelainan yang berasal dari kandung kemih menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar (outlet) memberikan manfaat manifestasi berupa inkontinensia stress (Purnomo, 2003).

2. Klasifikasi Inkontinensia Urine
Menurut Resnick N M dan Yalla S V (1998); Tannenbaum C, Perrin L, Dubeau C, Kuchel G A (2001) ; Steers W D, Zorn B H, (1997); Berek J S, (1996), inkontinensia urine terbagi menjadi 2, yaitu : Transient Incontinence dan True Incontinence.
a. Transient Incontinence
Inkontinensia transien sering terjadi pada usila. Jenis inkontinesia ini mencakup sepertiga kejadian inkontinensia pada masyarakat dan lebih dari setengah pasien inkontinensia yang menjalani rawat inap (Herzog dan Fultz, 1990). Penyebabnya sering disingkat menjadi DIAPPERS.
Diadaptasi dari After Du Beau, Resnick, N.M : Evaluation of the causes and severity of geriatric incontinence. Urol Clin Nort Am 1991; 18(2):243-256 didapatkan bahwa DIAPPERS merupakan kepanjangan dari Delirium / confusional state, Infection–urinary (symptomatic), Atrophic urethritis / vaginitis, Pharmaceuticals, Psychological, Excessive urine output (cardiac, DM), Restricted mobility, dan Stool impaction.

1) Delirium
Pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat, operasi ataupun penyakit yang bersifat akut (contohnya karena infeksi), kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. Pasien lebih memerlukan manajemen medis dalam mengatasinya dibandingkan dengan manajemen kandung kemih (Resnick, 1988)


2) Infeksi traktus urinarius (Infection-Urinary)
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang mengakibatkan seorang usila tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang banyak terjadi pada usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bisa saja bukan etiologi inkontinensia, tetapi banyak dokter yang akan menterapi ini dengan antibiotika walaupun hal tersebut tidak didukung oleh bukti penelitian. (Boscia et al., 1986; Resnick, 1988).


3) Atrophic vaginitis (Atrophic Uretritis)
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence. Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral (0,3 – 0,6 mg conjugated estrogen/hari) atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu, walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang (Semmens et al., 1985).

4) Obat-obatan (Pharmaceutical)
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada usila. Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan toilet pada waktunya akan timbul urge incontinence. Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. Sedatif, seperti benzodiazepin juga dapat berakumulasi dan menyebabkan confusion dan inkontinensia sekunder, terutama pada usila. Alkohol, mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas dan menimbulkan diuresis. Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang menimbulkan nokturia. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya obat-obatan ini sering bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra dan menyebabkan stress incontinence.

5) Psikologis (Psychological)
Proses psikologis yang menyebabkan timbulnya inkontinensia belum pernah diteliti, tetapi hal ini jarang terjadi pada orang usila dibandingkan dengan yang muda. Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan pasien mengalami “kebocoran” urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka harus dilakukan evaluasi lebih lanjut.

6) Output Urin yang Berlebihan (Excessive urine output)
Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karena intake cairan yang banyak, minuman berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi urin hingga 10 liter per hari pada kandung kemih sehingga menimbulkan overflow incontinence.  Kondisi hipertiroid dapat menginduksi kandung kemih menjadi overactive, sehingga menimbulkan kondisi urge incontinence. Disamping itu, kondisi hipotiroidism dapat menyebabkan kandung kemih hipotoni dan menimbulkan overflow incontinence.

7) Mobilitas yang terbatas (Restricted mobility)
Umumnya hal ini yang sering menimbulkan inkontinensia pada usila. Keterbatasan mobilitas ini dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis, deformitas panggul, deconditioning fisik, stenosis spinal, gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial, claudication, perasaan takut jatuh, stroke, masalah kaki atau ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pemeriksaan yang cermat sering mendapatkan bahwa hal ini sebetulnya merupakan penyebab yang dapat dikoreksi. Jika tidak dapat dilakukan koreksi, maka pola miksi di samping atau di tempat tidur dapat mengatasi masalah ini.

8) Impaksi feses (Stool impaction)
Diimplikasikan sebagai penyebab inkontinensia urin hampir lebih dari 10% pasien yang dirujuk ke klinik inkontinensia (Resnick, 1988). Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi urine dan overflow incontinence.

b. True Incontinence / Established Incontinence
Jika kebocoran menetap setelah penyebab inkontinensia transien dihilangkan, perlu dipertimbangkan penyebab inkontinensia yang berasal dari traktus urinarius bagian bawah.
True incontinence dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya menjadi :
1) Stress incontinence
Genuine stress incontinence (GSI) terjadi saat tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimum uretra tanpa disertai aktivitas detrusor yang menyertai peningkatan tekanan intra abdominal. Peningkatan tekanan intra abdominal biasanya terjadi saat batuk, bersin, tertawa dan aktivitas fisik tertentu (contoh : mengedan).
GSI dapat terjadi karena penurunan leher kandung kemih dan uretra bagian proksimal, hilangnya tahanan uretra atau keduanya (paling sering). Tekanan uretra yang rendah didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana tekanan uretra maksimum kurang dari 20cm H2O atau Valsava leak pressure kurang dari 60cm H2O.

2) Overflow incontinence
Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi secara berlebihan hingga ke titik dimana tekanan intravesikal melebihi tahanan uretra (tahanan outlet), tetapi tanpa disertai dengan adanya aktivitas detrusor atau relaksasi outlet. Kondisi ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu :
a)     Obstruksi outlet kandung kemih contoh Benign Prostat  Hyperplasia pada pria, stenosis uretra pada wanita, kontraktur leher kandung kemih, pasca operasi anti inkontinen seperti pubovaginal sling atau bladder neck suspension.
b)     Kandung kemih atoni seperti pada diabetic autoneuropathy, spinal cord trauma, herniated lumbar disc, peripheral neuropathy.

Sulit untuk membedakan antara 2 etiologi tersebut diatas (terutama pada usila dengan diabetik yang disertai dengan pembesaran prostat) akan tetapi pemeriksaan Pressure-Flow Study (PFS) akan menampakkan bentuk high pressure-low flow untuk obstruksi prostatik dan low pressure-low flow untuk atonia kandung kemih. Riwayat klasik untuk kondisi ini adalah adanya nocturnal enuresis. Terkadang pasien merasakan hal tersebut sebagai “stress incontinence”. Kecurigaan akan kondisi ini didasarkan pada penemuan adanya kandung kemih yang berdistensi pada pemeriksaan abdominal dan PVR yang besar.

3) Urge incontinence
Tipe inkontinensia ini ditandai dengan adanya keinginan berkemih yang kuat secara mendadak tetapi disertai dengan ketidakmampuan untuk menghambat refleks miksi, sehingga pasien tidak mampu mencapai toilet pada waktunya. Riwayat kondisi ini khas dengan adanya gejala overactive bladder (frekuensi, urgensi) serta faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi, seperti cuaca dingin, situasi yang menekan, suara air mengalir. Urge incontinence dapat disebabkan oleh karena detrusor myopathy, neuropathy atau kombinasi dari keduanya. Bila penyebabnya tidak diketahui maka disebut dengan idiopathic urge incontinence.

4) Reflex incontinence
Hilangnya inhibisi sentral dari jaras aferen atau eferen antara otak dan sacral spinal cord. Kondisi ini terjadi sebagai akibat kelainan neurologis susunan syaraf pusat. Merupakan suatu bentuk inkontinensia dengan keluarnya urin (kontraksi detrusor involunter) tanpa suatu bentuk peringatan atau rasa penuh (sensasi urgensi). Biasanya terjadi pada pasien stroke, Parkinson, tumor otak, SCI atau multiple sclerosis. Adanya relaksasi uretra yang tidak tepat atau beberapa bentuk abnormalitas sfingter diduga merupakan penyebab terjadinya hal ini.

5) Mixed Incontinence
Merupakan inkontinensia urin kombinasi antara stress dan urge incontinence. Pada kondisi ini outlet kandung kemih lemah dan detrusor bersifat overactive. Jadi pasien akan mengeluhkan adanya keluarnya urin saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal disertai dengan keinginan kuat untuk berkemih. Penyebab yang paling sering adalah kombinasi hipermobilitas uretra dan intabilitas detrusor. Salah satu contoh klasik keadaan ini tampak pada pasien meningomyelocele disertai dengan leher kandung kemih yang inkompeten dan detrusor hyperreflexic. Terapinya sama dengan terapi urge incontinence.

6) Total incontinence
Kondisi ini terjadi pada dua situasi :
a)     Saat terdapat bnormalitas kongenital traktus urinarius bagian bawah, contoh : insersi ureter ektopik dibawah sfingter eksternal. Pasien mengeluhkan adanya dribbling urin secara terus menerus.
b)    Pasca operasi (lebih sering) contoh vagino-vesical fistula, pasca TURP, pasca prostactetomy radikal. Terjadi kebocoran terus menerus dan kandung kemih tidak lagi mampu untuk melakukan fungsi penyimpanan.

     3. Inkontinensia Urine pada Ibu Postpartum
Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau melhirkan bayi dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul (Eileen, 2007)
Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus organ panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam (Eileen, 2007)
Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa. (Lusa, 2010)
Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum (Lusa, 2010).
Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia urin pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan penyebab potensial terhadap kejadian ini ( Handa et al, 1996; Volleys 1988; Morkved & Bo 1996; Chiarelli & Cockburn, 1999; Persson et al, 2000). Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai berat pada masa pascanatal (Wilson et al., 1996; Morkved & Bo, 1999).
Marshal et al., (1996) menyatakan berdasarkan surveinya, sebanyak 59% dari wanita Irlandia pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan fakta 80% ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan elektromiografik memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8 pascapartum (Allen et al., 1990).
Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia urine stres. Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra  pada saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat (Purnomo, 2003).
Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan dasar panggul (Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah terbukti mampu mengatasi masalah inkontinensia urin (Kegel 1948; Bo 1995; Sleep 1987; Sampselle et al. 1996; Morkved & Bo 1996; Dougherty et al. 1989).
Seluruh ibu yang mengalami gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus dianjurkan untuk mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan harian umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi saran yang tepat dalam melakukan latihan dasar panggul (Bump et al., 1991).
Beberapa masalah umum yang munkgin menimbulkan gejala pascanatal adalah frekuensi, urgensi dan prolaps. Setelah pengkajian, kondisi ini dapat berespons terhadap pelaksanaan latihan kandung kemih, latihan dasar panggul dan elektroterapi serta harus dirujuk ke ahli fisioterapi kesehatan wanita.

C. Kegel Exercise
1. Definisi Kegel Exercise
Kegel Exercise atau biasa disebut latihan otot dasar panggul adalah latihan yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi sepenuhnya sesegera mungkin dan membantu mencegah masalah atau prolaps urine jangka panjang. Senam dasar panggul harus dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk mencegah hilangnya kendali kortikal pada otot-otot karena nyeri perineum dan cemas tentang kerusakan jahitan (Stepherd, 1980). Ibu yang baru saja menjalani episiotomi setelah terlebih dahulu diberi anestesi epidural, mungkin akan merasakan nyeri perineum tiba-tiba yang amat sakit, setelah persalinan yang tidak terasa nyeri. Ibu pada saat ini memerlukan pereda nyeri untuk mencegah inhibisi kontraksi dasar panggul, sleuruh ibu harus dimotivasi untuk menggerakkan otot dasar panggul sedikit dan sesering mungkin, perlahan dan cepat, pada masa pascapartum dini. Pada pascalahir, ibu mungkin mengalami kesulitan melakukan latihan dasar panggul, karena mekanisme peregangan yang ditimbulkannya pada saat persalinan dan kemungkinan ketidaknyamanan yang berasal dari perineum yang mengalami sutura atau memar. Penenangan mungkin diperlukan ketika ia mungkin menemukan bahwa ia tidak dapat mencapai jumlah kontraksi yang mampu dilakukannya pada antenatal.

2.Teknik Kegel Exercise
Kegel Exercise untuk mengatasi kejadian inkontinensia urin pada ibu postpertum dapat dilakukan dengan cara :
a.     Kedutan Perlahan tipe I (Slow Twitch I)
1.     Mengencangkan anus seperti menahan defekasi.
2.     Mengerutkan uretra dan vagina seperti menahan berkemih.
3.     Tahan dengan kuat selama mungkin sampai 10 detik dengan tetap bernapas secara normal.
4.     Rileks dan istirahat selama 3 detik.
5.     Ulangi dengan perlahan sebanyak mungkin sampai maksimum 10 kali.

b.    Kedutan Cepat tipe II (Fast Twitch II)
Setelah melakukan gerakan itu, ulangi senam dengan mengencangkan dan mengendurkan dengan lebih cepat sampai 10 kali tanpa menahan kontraksi.

Untuk merencanakan senam dasar panggul secara mandiri, ingatlah lamanya dalam detik. Anda dapat menahan kontraksi dan hitung berapa kali Anda dapat mengulang latihan sebelum otot menjadi lelah. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah latihan sampai sebanyak 10 x 10, yang dialkukan dalam beberapa minggu (Eileen, 2007)
Dengan melatih otot-otot tersebut secara perlahan dan cepat, baik serat otot yang berkedut perlahan (tipe I) maupun berkedut cepat (tipe II) akan teraktivasi (Gippin et al., 1989). Prosedur senam dasar panggul dapat diingat dan dilakukan bersama aktifitas yang berkaitan dengan bayi, misalnya menyusui, memandikan membasuhnya. Aktifitas ini dapat dilakukan sambil ibu duduk di kamar mandi setiap habis berkemih. Ini adalah posisi relaks untuk mengontraksi otot-otot tersebut. Sebuah tanda pengingat untuk melakukan aktivitas ini, dapat ditempelkan di balik pintu kamar mandi rumah sakit. Bila nyeri perineum membuat senam menjadi sulit dilakukan dalam posisi duduk, posisi lain yang dapat dipakai adalah telungkup, atau berbaring miring dengan bantal diletakkan di antara kaki, atau berdiri dengan kedua kaku direntangkan (Eileen, 2007)
Ibu harus dianjurkan untuk membebat area dasar panggul ketika batuk, tertawa, mengangkat, atau jongkok. Ibu harus diberi tahu bahwa kondisi ini dapat berlangsung tiga bulan untuk memperoleh kembali fungsi penuh dasar panggul. Namun, semua ibu dianjurkan untuk melanjutkan senam dasar panggul secara teratur sepanjang hidup, agar terhindar dari gangguan berkemih di kemudian hari. Mereka dapat menguji kekuatan fungsi otot-otot dasar panggul pada 8-12 minggu pascalahir, dengan cara melompat dengan kondisi kandung kemih penuh dan batuk sekuat tenaga dua atau tiga kali saat melakukan tindakan tersebut. Seharusnya tidak ada lagi urine yang menetes bila otot-otot teah mencapai kekuatan dan fungsinya seperti semula. Bila saat pengujian terjadi penetesan, ibu sebaiknya dirujuk pada ahli fisioterapi kesehatan wanita untuk mendapatkan terapi. Di beberapa tempat, ibu dapat merujuk dirinya dalam 12 minggu persalinan, sebaliknya mereka memerlukan rujukan dari seorang dokter untuk mendapatkan layanan ahli fisioterapi. Kehamilan berikutnya dianggap dapat membebani otot dasar panggul karenanya tidak diperkenankan sampai rehabilitasi dasar panggul benar-benar pulih (Eileen, 2007).

3. Hal yang perlu diperhatikan :
a. Frekuensi
Sesering mungkin kapan pun mungkin sehingga menjadi kebiasaan. Gunakan ingatan misalnya setelah setiap berkemih. Pengujian yang sangat jarang adalah dengan penghentian aliran tengah.

b. Saran
Berikut ini adalah saran dalam melakukan latihan ini , yaitu :
1)     Biasakan melakukan senam ini dimana saja dan kapan saja
2)     Hentikan aliran tengah berkemih hanya kadang-kadang
3)     Jangan menahan napas
4)     Jangan mengencangkan paha atau bokong
5)     Kontraksikan pertama secara perlahan, kemudian secara cepat
6)     Rujuk ke penasihat profesional jika perlu.


























BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

PENURUNAN KEJADIAN INKONTINENSIA URIN POSTPARTUM
A. Kerangka Konsep
KEGEL EXERCISE
(LATIHAN OTOT DASAR PANGGUL)
Terapi non medikamentosa:
-          Latihan Kandung Kemih
-          Berkemih Dini
Terapi Pembedahan :
-          Kolposuspensi retropubik
-          Prosedur Ambin Suburetra
 








Keterangan :
   :   diteliti
          :   tidak diteliti

3.9 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2007).
         Jadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan perlakuan antara kelompok yang mendapat intervensi mengenai Kegel Exercise dengan yang tidak diberikan intervensi dalam penurunan kejadian inkontinensia Urin.

3.10 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentikan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana variabel dapat diukur dan ditentikan karakteristiknya (Hidayat, 2007).

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Variabel bebas
Kegel Exercise


Suatu latihan post partum yang bertujuan untuk melatih otot dasar panggul


Prosedur tetap Kegel Exercise


Lembar Observasi (dalam bentuk catatan berkemih harian)


1. Sebelum melakukan Kegel Exercise
2. Sesudah melakukan Kegel Exercise




Nominal
Variabel terikat
Penurunan Kejadian Inkontinensia urin pada ibu post partum


Suatu proses untuk menurunkan kejadian pengeluaran urin berlebih dikarenakan kerja otot involunter.



Kuesioner dan lembar Observasi


Kuesioner (sesuai indikator inkontinensia urin)



Terjadi penurunan keluhan  inkontinensia urin, yaitu:
1. Sulit menahan kencing saat berkemih
2. Mengeluarkan urin pada saat tidak ingin berkemih
3. Kesulitan untuk memulai berkemih
4. Mengompol pada malam hari
5. Mengompol saat batuk dan tertawa
6. Berkemih [ada malam hari > 4 kali
7. Berkemih yang keluarnya menetes


Nominal
Karakteristik Responden
Umur






Paritas





Pendidikan








Pekerjaan


Usia responden saat ini berdasarkan ulang tahun terakhir

Wanita yang dapat melahirkan bayi yang lahir hidup

Pendidikan formal yang terakhir yang telah responden selesaikan.



Jenis pekerjaan yang ditekuni responden untuk mendapatkan penghasilan.


Kuesioner






Kuesioner





Kuesioner








Kuesioner



Mengisi Kuesioner





Mengisi Kuesioner




Mengisi kuesioner







Mengisi kuesioner


1. Tidak resiko
2. Resiko





1.  Primigravida
2.  Multigravida




Dikelompokkan :
1.  Pendidikan rendah (SD, SMP)
2.  Pendidikan tinggi (SMA, Sarjana)


1.  Tidak bekerja
2.  Bekerja (PNS, Swasta, ABRI, dll.)


Nominal






Nominal





Ordinal








Nominal










BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
       Menurut Nursalam (2008), rancangan penelitian eksperimen semu (Quasy-experiment) adalah rancangan penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan kedua kelompok ini tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja kedua kelompok subjek telah memiliki karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok itu berbeda, mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena sejak awal kelompok awal sudah berbeda.
Menurut Arikunto (2007), di dalam desain pre test dan post test group ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen disebut pre test, dan observasi sesudah eksperimen disebut post test. Perbedaan antara pre test dan post test diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. Kemudian dibandingkan hasil post test antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan intervensi. Bentuk rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut :
       Subjek
Pra
Perlakuan
Pasca-tes
K-A
K-B
O
O
I
-
O1-A
O1-B

Time 1
Time 2
Time 3

Keterangan:
K-A         : Subjek (inkontinensia urine postpartum) perlakuan
K-B         : Subjek (inkontinensia urine postpartum) kontrol
-             : aktivitas lainnya (selain Kegel Exercise yang telah diprogramkan)
O            : observasi involusi uteri sebelum Kegel Exercise (kelompok perlakuan)
I              : Intervensi (Kegel Exercise)
O1(A+B)  : observasi inkontinensia urine sesudah Kegel Exercise (kelompok perlakuan dan kontrol)

B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Sastroasmoro & Ismail (1995), populasi dibedakan menjadi 2, yaitu : (1) Populasi target dan (2) populasi terjangkau. Populasi target adalah populasi yang memenuhi kriteria sampling dan menjadi sasaran akhir penelitian. Sedangkan populasi terjangkau adalah populasi yang memenuhi kriteria penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya.
       Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di kecamatan Seberang Ulu 1 yang mencakup wilayah kerja 5 Puskesmas, yaitu: (1) Puskesmas 1 ulu, (2) Puskesmas 4 ulu, (3) Puskesmas 7 ulu, (4) Puskesmas Pembina dan (5) Puskesmas OPI. Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah ibu post partum dengan inkontinensia urine di daerah Puskesmas OPI dan Puskesmas Pembina.
       Peneliti memilih daerah ini berdasarkan data Dinkes kota Palembang tahun 2009 yang menyatakan bahwa daerah dengan pelayanan nifas tertinggi di Palembang adalah daerah Seberang Ulu 1, yaitu sebanyak 4.830 orang (131,9 %).

2. Sampel
       Teknik pengambil sampel peneliti adalah non-probability sampling, yaitu dengan menggunakan  teknik purposive sampling ( Nursalam, 2008). Purposive sampling adlaah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan dikehendaki peneliti  (tujuan/masalah penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.

 Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
a.     Ibu postpartum yang kooperatif  bersedia untuk dijadikan sampel penelitian.
b.    Ibu postpartum yang berada di kawasan puskesmas OPI Jakabaring dan puskesmas Pembina Plaju
c.     Ibu postpartum yang tidak lebih dari 12 bulan setelah melahirkan.
d.    Ibu yang bisa membaca dan menulis.

Kriteria eksklusi:
a.     Ibu postpartum yang sakit.
b.    Ibu postpartum yang baru melahirkan janin mati.
c.     Ibu postpartum yang baru menghadapi kuretase.

C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di kelurahan puskesmas OPI Jakabaring dan Puskesmas Pembina Plaju. Pemilihan tempat penelitian ini dengan alasan untuk memudahkan peneliti mencari subyek penelitian karena pada kelurahan puskesmas OPI dan puskesmas Pembina merupakan tempat dengan tingkat pelayanan nifas yang tinggi.

D. Waktu Penelitian
            Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal April – Mei 2011 (selama 4 minggu)
Tabel 2. Tabel dari Instansi

E. Etika Penelitian
Penelitian ini juga memenuhi prinsip etik dan formulir informed consent yang diberikan pada pasien sebelum dilakukan penelitian.
1. Prinsip etik
Hamid (2008) menyebutkan prinsip etik, meliputi: autonomy, non-maleficence, beneficence, dan justice. Prinsip etik yang mendasari penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
a.    Autonomy
Autonomy adalah kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri. Subyek penelitian diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara suka rela dengan memberikan tanda tangan pada lembar informed consent.  Tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin terjadi pada pelaksanaan penelitian dijelaskan, sebelum pasien memberikan persetujuan. Subyek penelitian juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat penelitian. Artinya melalui etika penelitian ini peneliti akan melakukan kontrak terlebih dahulu kepada responden sebelum melakukan perlakuan.

b.   Non-maleficence
Non-maleficence adalah tidak melukai dan tidak menimbulkan bahaya atau cidera bagi orang lain. Subyek penelitian diupayakan bebas dari rasa tidak nyaman sebelum, selama, dan sesudah prosedur tindakan dilakukan.
Sebelum dilakukan Kegel Exercise, peneliti berusaha untuk memberikan penjelasan kepada responden tentang cara kerja Kegel Exercise dan mempersiapkan ibu pada posisi yang baik agar sewaktu melakukan Kegel Exercise, ibu merasa nyaman. Selama melakukan Kegel Exercise, peneliti mengajarkan tindakan sesuai dengan standar prosedur Kegel Exercise dan memperhatikan serta menanyakan perasaan ibu. Setelah melakukan Kegel Exercise selama 1 minggu, peneliti melakukan observasi terhadap keadaan ibu setelah melakukan Kegel Exercise.

c.    Beneficence
Beneficence  adalah prinsip untuk melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain (Suhaemi, 2004). Pada penelitian ini saat melakukan tindakan Kegel Exercise pada ibu post partum, peneliti melakukan tindakan penelitian yang sesuai dengan standar prosedur operasional tindakan Kegel Exercise agar tidak menimbulkan kesalahan selama proses Kegel Exercise sehingga tidak menimbulkan masalah baru pada ibu post partum tersebut.

d.   Justice
Justice adalah prinsip moral berlaku adil untuk semua individu (Suhaemi, 2004). Penelitian ini tidak melakukan diskriminasi pada kriteria yang tidak relevan saat memilih subyek penelitian, namun berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Subyek penelitian juga memiliki peluang yang sama untuk dikelompokkan pada intervensi yang dilakukan dalam penelitian, artinya setiap responden memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tindakan yang sesuai dengan standar operasional Kegel Exercise tanpa mengabaikan nilai moral yang berlaku di setiap daerah di mana responden tinggal.
   Informasi yang diperoleh dari pasien dirahasiakan dan anonymity (membuat data responden dengan inisial saja tidak menuliskan nama lengkapnya) subyek juga dijaga dengan ketat. Selain itu proses Kegel Exercise dilakukan dengan menjaga privasi dari setiap responden. Kegel Exercise biasanya dilakukan ditempat yang membuat responden nyaman dan tidak merasa terganggu dengan adanya responden yang lain.

2.  Informed consent
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan subyek penelitian setelah diberikan informasi yang lengkap tentang penelitian. Persetujuan telah diberikan saat pasien telah menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Informed consent pada penelitian ini berdasarkan kriteria yang dibuat Portney dan Watkins (2000) yang memuat hal-hal sebagai berikut:
b.    Subyek penelitian mengetahui sepenuhnya informasi tentang penelitian, efek samping maupun keuntungan yang diperoleh subyek penelitian.
c.     Lembar persetujuan (informed consent) menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
d.    Peneliti menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian pada saat kapan saja.
e.     Persetujuan diberikan dengan sukarela dan tidak ada sanksi apapun jika subyek menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian.
f.     Mempertimbangkan kemampuan subyek untuk memberikan persetujuan  dengan penuh kesadaran.
g.    Subyek penelitian dapat mengundurkan diri dari penelitian pada saat kapan saja dengan alasan apa saja
F. Alat Pengumpulan Data
1. Identitas pasien
Status pasien merupakan deskripsi subyek penelitian dan karakteristik ASI pada ibu menyusui. Deskripsi subyek meliputi : umur, partus, paritas dan pendidikan. Karakteristik Inkontinensia urin pada ibu post partum adalah : sulit menahan kencing saat berkemih, mengeluarkan urin pada saaat tidak ingin berkemih, kesulitan untuk memulai berkemih, mengompol pada malam hari, mengompol pada saat batuk dan tertawa, berkemih pada malam hari > 4 kali, dan berkemih yang keluarnya menetes (Nursalam, 2008)

2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian mengunakan lembar observasi yang berisi pertanyaan yang ditanyakan dan diamati. Lembar observasi yang diajukan berisikan identitas responden dan pertanyaan yang akan diisi ibu setiap harinya dan akan dipantau pada saat peneliti berkunjung kembali ke rumah ibu. Lembar observasi ini terdiri dari 3 pertanyaan seputar rutinitas Kegel Exercise yang dilakukan ibu di rumah.
                   Kuesioner diberikan pada saat sebelum dan sesudah tindakan Kegel Exercise yang diberi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.  Responden diminta memilih jawaban yang dianggap benar kemudian akan dihitung frekuensinya dengan menggunakan sistem komputerisasi. Kuesioner yang digunakan adalah jenis dichotomy question.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar